- musli
- Posts
- 42 catatan saya tentang menulis.
42 catatan saya tentang menulis.
di kumpulkan dari berbagai sumber.
Bisa dibilang 80% aktivitas kreator adalah menulis. Karna itu aku sangat terobsesi dengan dunia “menulis” ini. Selama perjalanan menjadi kreator, aku terus memperbaiki kemampuan nulisku, terus mencari sumber-sumber terbaik dalam menulis. Dan ini adalah pelajaran-pelajaran kecil yang aku kumpulkan selama aku menjadi kreator. Semoga bermanfaat.
Bagiku menulis adalah aktivitas “berpikir”, maka ia bagian dari proses berfilsafat.
Menulis bukan agar terlihat pintar. Tapi terlihat manusiawi dan otentik.
Kamu tidak perlu jadi penulis profesional untuk menulis sesuatu yang bermakna.
Menulis bisa menjadi alat untuk berpikir, memahami hidup, dan menyembuhkan diri.
Sebelum kamu mencari audiens, kamu perlu tahu untuk siapa sebenarnya kamu menulis—dan sering kali, jawabannya adalah: untuk dirimu sendiri.
Ini adalah ruang aman. Tidak ada tulisan “benar” atau “salah”. Yang ada hanyalah tulisan yang jujur atau tidak.
Tulisan adalah cara kita memperlambat pikiran, melihatnya dari luar, dan menyusunnya agar bisa dipahami—oleh orang lain dan oleh diri sendiri. Jadi, menulis itu cara paling nyata untuk mempraktikkan filsafat pribadi.
Kamu menulis karena kamu ingin memahami sesuatu. Kamu menulis karena kamu penasaran terhadap ide yang menghantui pikiranmu. Kamu menulis karena kamu merasa ada sesuatu yang harus keluar dari kepala dan hati, atau kamu akan meledak. Ini adalah motivasi yang tidak bergantung pada like, share, atau komentar.
Kamu adalah penjelajah yang mengajak pembaca masuk ke dalam lanskap pemikiran yang mungkin belum pernah mereka kunjungi.
Kamu sedang berkata: “Aku juga gak tahu semuanya, tapi yuk kita renungkan bareng.”Menulis adalah aktivitas bertanya secara mendalam.
Apa maksudnya "bertanya secara mendalam"?Sering kali kita berhenti di level permukaan. Misalnya:
“Aku stres karena pekerjaanku.”
Tapi kenapa pekerjaannya bikin stres?
Karena tuntutannya tinggi.
Tapi kenapa kamu merasa harus selalu memenuhi tuntutan itu?
Karena aku takut dianggap gagal.
Kenapa kegagalan terasa begitu menakutkan?
Dan terus berlanjut.
Setiap lapisan pertanyaan membawa kita lebih dekat ke akar dari pengalaman manusia. Dan akar inilah yang membuat tulisanmu terasa jujur dan universal, bukan dangkal dan cepat basi.
“Aku burnout, jadi aku berhenti kerja dan pindah ke Bali.” Jangan hanya menulis laporan kejadian.
Tapi tulislah refleksi eksistensial. Dan itu yang bikin tulisan menempel di hati pembaca.
Ganti menjadi: “Aku menyadari bahwa rasa ‘burnout’ datang bukan hanya dari pekerjaan, tapi dari keyakinan bahwa nilainya diriku tergantung pada produktivitasku.”Dalam menulis, gunakan teknik 5 Why pada setiap hal yang membuat kamu gelisah.
Studi kasus:
Coba ambil satu pernyataan sederhana dari hidupmu.
Misalnya: “Aku ingin lebih produktif.”Lalu tanyakan “kenapa?” sebanyak lima kali.
Contoh:
Kenapa aku ingin lebih produktif?
→ Karena aku merasa belum cukup melakukan hal besar.Kenapa merasa belum cukup?
→ Karena aku membandingkan diriku dengan orang lain.Kenapa membandingkan?
→ Karena aku merasa tidak aman dengan pencapaianku sendiri.Kenapa tidak aman?
→ Karena aku menilai diriku dari apa yang aku hasilkan.Kenapa menilai dari hasil?
→ Karena sejak kecil aku diajarkan bahwa nilai datang dari pencapaian, bukan dari keberadaan.
Proses ini, kamu bukan cuma menemukan ide tulisan yang jauh lebih kuat, tapi juga menemukan dirimu sendiri.
Ingin punya ide nulis sekarang juga? Apa hal yang sedang kamu alami sekarang, dan bisa kamu gali dengan pertanyaan "kenapa"? Apa asumsi hidup yang belum pernah kamu pertanyakan secara serius? Tuliskan.
Tulisan terbaik lahir bukan dari menjawab pertanyaan, tapi dari keberanian untuk terus mengajukannya.
Menulis adalah tentang mengeksplorasi pertanyaan:
Mengundang eksplorasi lebih luas. Pertanyaan yang tepat mengajak kita untuk melihat berbagai perspektif, memperdalam pemahaman, dan menggali lebih dalam. Sebuah jawaban yang terlalu cepat atau terburu-buru hanya akan membatasi potensi ide tersebut.
Membuka ruang untuk keraguan. Pertanyaan mengajak kita untuk mempertanyakan asumsi, mencari kemungkinan lain, dan menguji batasan pengetahuan kita. Jawaban, sebaliknya, sering kali menutup ruang bagi keraguan yang produktif.
Contoh tulisan yang dimulai dengan pertanyaan:
"Kita sering mendengar bahwa kesuksesan adalah tentang pencapaian—menjadi lebih baik dari kemarin. Tapi apakah itu semua yang perlu kita ukur? Apakah ada jenis kesuksesan yang tidak melibatkan pencapaian, melainkan perasaan puas dengan diri sendiri?"
Mengapa “kenapa” begitu penting?
Karena:
Ia membongkar asumsi.
Ia membuka luka dan harapan tersembunyi.
Ia membantu kita memahami bukan cuma apa yang terjadi, tapi apa makna dari apa yang terjadi.
Tulisan yang lahir dari pertanyaan "mengapa" selalu terasa lebih dalam—karena ia tak hanya menjelaskan, tapi juga mengundang pembaca untuk merenung bersama.
Fokus pada proses bertanya, bukan pada hasil akhir.
Contoh pendekatan:
Daripada langsung mencari jawaban atas “Apa itu kebahagiaan?”, coba mulailah dengan “Apa yang membuatku merasa bahagia, dan mengapa itu berbeda untuk setiap orang?”
Alih-alih “Bagaimana cara kita mengukur kesuksesan?”, lebih baik mulai dengan “Apakah kesuksesan itu relevan untuk setiap individu?”
Selidiki role model pikiranmu. Kita semua dipengaruhi oleh cara berpikir orang lain—dan semakin kita sadar akan pengaruh itu, semakin jernih dan otentik tulisan kita. Mengenali pemikir yang menggugah kita = memahami kerangka berpikir kita sendiri.
Manfaat dari mengetahui sosok yang menginspirasimu: Kamu bisa menelusuri kenapa kamu berpikir seperti sekarang. Kamu mulai bisa menggabungkan pengaruh luar dengan suara pribadimu sendiri. Kamu jadi tidak sekadar mengutip, tapi menginternalisasi. Ini adalah proses menjadi pemikir yang merdeka, bukan sekadar penggemar kutipan.
Kamu tidak harus menciptakan semuanya dari nol (ntah itu dari filsuf, AI). Tapi kamu harus tahu dari siapa kamu belajar berpikir—agar kamu bisa berdiri dengan suaramu sendiri.
Kutipan hanyalah awal, bukan akhir. Kutipan bisa: Menjadi pemicu pikiran, memberi konteks, menyambungkan kamu ke tradisi pemikiran. Tapi jangan jadikan kutipan sebagai penopang utama. Pembaca ingin tahu: apa yang kamu pikirkan setelah membaca itu?
Tentang kutipan: Kamu belajar untuk menginternalisasi ide, bukan sekadar mengulangnya. Tulisanmu terasa lebih hidup karena muncul dari pengalamanmu sendiri. Kamu membangun kredibilitas bukan karena “siapa yang kamu kutip”, tapi bagaimana kamu berpikir.
Kamu adalah penerus pemikiran, bukan peniru:
- Menyambung tradisi pemikiran dengan suara pribadi.
- Menunjukkan bagaimana ide-ide besar bergema dalam hidup sehari-hari.
- Menjadi penulis yang berpikir mandiri, bukan kurator kutipan.Kutipan bisa membuka pintu. Tapi hanya pikiran dan pengalamanmu yang bisa menunjukkan apa yang ada di dalamnya.
Menulis itu seperti otot—perlu dilatih.
Belajarlah membedakan mana suara asli dan mana hanya “noise”.
Ada tulisan seperti ini “Uang tidak bisa membeli kebahagiaan”, “Jadilah orang baik karena kebaikan akan kembali padamu.” Semua itu benar… tapi juga membosankan kalau tidak dihidupkan dengan pengalaman pribadi dan sudut pandang orisinal.
Bagaimana caranya tidak terdengar klise? jangan mulai dari pesan. Mulailah dari pengalaman atau pertanyaan.
✖️ “Aku mau menulis tentang pentingnya bersyukur.”
✔️ “Waktu aku kehilangan hp yang nyimpen semua foto ibuku, aku sadar hal paling berharga bukan gadget-nya.”Tolak generalisasi.
Jangan tulis: “Kita semua takut mati.”
Lebih baik tulis: “Aku sadar takut mati saat menyadari aku lebih takut kehilangan rutinitas daripada tubuhku sendiri.”Temukan sudut yang spesifik dan jujur.
Ceritakan dari pengalamanmu sendiri.
Pembaca bisa mencium mana yang tulus dan mana yang basa-basi.Sebelum nulis, bertanyalah:
- Tulisan ini sudah pernah ditulis ratusan kali. Tapi apa yang hanya aku yang bisa katakan tentang ini?
- Apa yang aku alami atau pahami yang membuat pandanganku pada topik ini unik, meski cuma sedikit?Tulisan filosofis yang kuat = Topik umum + pengalaman pribadi + refleksi jujur.
Misalnya:Bukan cuma: “Apa itu kebahagiaan?”
Tapi: “Aku menyadari bahwa kebahagiaan terasa menakutkan karena aku takut kehilangan ritmenya.”
Kamu tidak perlu menjadi unik demi terlihat pintar. Tapi kamu harus menjadi jujur agar tidak terdengar palsu.
Jangan menulis dengan nada menggurui:
“Kita harus menolong orang lain karena itu benar.”
✔️ Lebih baik: “Aku selalu merasa bersalah saat tidak membantu—dan aku mulai bertanya, apakah itu karena empati… atau rasa takut terlihat egois?”Tulislah situasi abu-abu moral dalam hidupmu. Ketegangan antara apa yang kamu yakini dan apa yang kamu lakukan.
Contoh: “Dulu aku pikir kejujuran adalah nilai tertinggi. Tapi saat temanku kena PHK dan tidak siap menerima kenyataan, aku berbohong padanya untuk membuatnya merasa lebih baik. Aku pulang dengan rasa bersalah… tapi juga perasaan bahwa mungkin ada kebaikan dalam kebohongan kecil. Aku belum tahu jawabannya—tapi sejak itu aku berhenti merasa moral itu hitam putih.”Menulis adalah seni penyampaian pengetahuan. Sebagai penulis penting mengetahui hakikat pengetahuan.
Apakah aku tahu karena aku mengalaminya, atau karena aku membacanya?
Apa bedanya antara informasi, opini, dan kebijaksanaan?
Apakah ‘kebenaran’ itu universal, atau selalu terikat konteks dan waktu?
bukan sekadar permainan pikiran—tapi cara membuka jalan menuju tulisan yang penuh rasa ingin tahu dan rendah hati.
Bahaya yang perlu dihindari:
Nada sok tahu
“Faktanya, manusia tidak bisa mengetahui apa pun secara pasti.”
❌ Terlalu kering dan final.Menulis seolah kebenaran itu sudah pasti
“Orang yang berpikir begini pasti salah.”
❌ Mengunci dialog, tidak mengundang refleksi.
Sebaliknya, kamu sebaiknya menyadari:
Semakin kamu menggali, semakin kamu sadar betapa banyak yang kamu tidak tahu.Alih-alih menyampaikan kebenaran, ajukan keraguan yang membangun.
Misalnya:“Aku dulu percaya bahwa hidup harus punya tujuan jelas. Tapi semakin aku membaca dan hidup, semakin aku curiga bahwa ‘tidak tahu pasti’ adalah bagian dari kedewasaan.”
“Aku merasa tahu banyak hal—sampai aku harus menjelaskannya pada anak kecil, dan menyadari bahwa aku hanya mengulangi kata-kata orang lain.”
Mengetahui bukan akhir dari perjalanan berpikir.
Justru di sanalah ia dimulai.
Karena tulisan terbaik sering lahir dari kesadaran:
“Aku belum tahu. Tapi aku ingin memahami.”Menulis yang baik dimulai dengan pertanyaan yang tepat, bukan dengan jawaban yang sudah ada. Pertanyaan yang terbuka dan menggugah akan mengarahkan proses penulisan kita, sedangkan jawaban yang terburu-buru justru membatasi ruang untuk berpikir lebih dalam.
Dalam menulis cobalah berada diantara dua spektrum. Antara pro dan anti. Antara apa yang kebenaran masyarakat (kolektif) atau kontrarian.
Rhythmic editing adalah pendekatan dalam mengedit tulisan yang lebih fokus pada irama dan alur daripada sekadar kesalahan teknis seperti ejaan dan tata bahasa.
Contoh Praktis Rhythmic Editing:
Misalnya, jika kita menulis kalimat seperti ini:
"Saya berpikir bahwa kita seharusnya tidak selalu membiarkan kesulitan-kesulitan di luar kendali kita untuk mempengaruhi cara kita memandang dunia."
Kalimat ini bisa terasa agak berat dan tidak mengalir dengan baik. Melalui rhythmic editing, kita bisa merubahnya menjadi:
"Kesulitan di luar kendali kita seharusnya tidak mengubah cara kita memandang dunia."
Di sini, kita telah memperpendek kalimat, menghilangkan kata-kata yang tidak perlu, dan membuatnya lebih langsung. Irama tulisan ini lebih tajam dan lebih mudah dicerna.
Btw, kalo teman-teman tertarik membangun One-persone-business atau solopreneur, aku udah buat panduan lengkap disini: Make-Money-Online-Guide.